SEKITAR tahun 1900, kehidupan di Hindia-Belanda semakin semarak. Uang
berlimpah dan politik etnik Belanda diejawantahkan dalam bentuk
proyek-proyek pembangunan dan pendidikan untuk orang Indonesia.
Perkembangan perekonomian di Hindia-Belanda menuntut semakin banyak
tenaga terampil dan terdidik dari Negeri Belanda.
Tidak susah
mendapatkan tenaga-tenaga seperti itu karena Nusantara menjadi semakin
menarik oleh perbaikan sarana kehidupan sehari-hari. Penyediaan air dan
listrik semakin membaik; banyak penyakit tropis tidak lagi dianggap
sebagai penyakit fatal yang menakutkan karena pengobatan dan perawatan
medik di Hindia-Belanda semakin baik.
Semakin banyak saja
perempuan Eropa yang datang ke Nusantara. Buku-buku praktis mengenai
(cara) hidup dan bergaul di ons Indie bermunculan seperti jamur di musim
hujan. Mulai dari jumlah kutang dan celana dalam yang harus disiapkan
dari Negeri Belanda sampai pola penataan meja makan untuk menjamu
Gubernur Jenderal di Batavia dapat dicari di dalam buku-buku itu!
Perempuan-perempuan
tembak langsung dari Belanda itu lebih suka mengimpor gaya hidup dan
tata cara Eropa yang sudah dikenalnya. Kehidupan dan pengaturan
rumah-rumah tangga serta pergaulan di luar rumah di Batavia berorientasi
pada dan meniru gaya hidup orang di Amerika dan Eropa. Gaya hidup Eropa
itu menelusup ke dapur dan lemari pakaian orang: indische rijsttafel
mulai disisihkan untuk menu makanan Eropa; sarung dan kebaya diganti
dengan rok-rok model terbaru untuk bepergian (walaupun, diam-diam di
rumah, orang masih lebih suka kembali mencari sarung dan kebaya yang
lebih santai).
Gaya hidup mutakhir dipungut dari artikel-artikel
di dalam media massa (lihat G Termorshuizen-Tropenstijl: Amusement en
Verstrooing in de (Post)Koloniale Pers. Leiden, KITLV Press, 2011).
Hampir setiap rumah tangga mempunyai kulkas dan gramofon. Radio pun
tidak lagi dianggap sebagai benda mewah.
Di jalan, jumlah
kendaraan bermotor semakin banyak dan taksi menjadi bagian dari
pemandangan yang tak dapat dipisahkan dari pemandangan perkotaan. Orang
yang pada mulanya mengeluhkan hingar-bingar lalu-lintas Batavia,
lama-kelamaan menjadi terbiasa mendengarnya.
Gaya hidup
kebarat-baratan ini terutama dimiliki orang Belanda totok. Di Batavia,
sebetulnya hanya sejumlah kecil orang Indo yang berhasil duduk dijenjang
atas dunia bisnis, sosial dan politik. Sebagian besar di antara mereka
tetap hidup dengan gaya mereka yang sederhana: tanpa kulkas, tanpa
mobil dan tanpa gemerlap kehidupan malam di societeit. Ini tidak
berarti bahwa kehidupan orang Indo itu membosankan. Jauh dari itu.
Orang
Indo mempunyai koempoelan. Serupa dengan societeit, koempoelan
merupakan arena sosial tempat orang bertemu, bermain kartu dan berpesta.
Setiap malam Minggu, diadakan pesta dansa, pertunjukan musik, teater
atau sirkus. Kini, di Negeri Belanda terdapat berbagai koempoelan orang
Indo yang teratur mengadakan pesta-pesta dansa dengan musik kroncong,
musik Indo-pop dan makanan Indonesia yang lezat: lontong cap go meh,
aneka sate, gado-gado, es campur dan kwee-kwee lapis legit, lemper, dan
onde-onde.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar